Selasa, 17 Maret 2009

Episode 4

Panjang sekali rasanya kisah-kisahku di SMP, namanya SMP 19. Di SMP aku juga sering terlambat, itu dikarenakan mobil jemputanku yang sedikit lelet. Dia tidak hanya mengantar kami-kami yang ingin pergi ke SMP saja, dia juga mengantarkan anak-anak yang tujuannya ke SD. Yang lebih membuatku kesal, mobil jemputanku tidak langsung mengantar kami, malahan dia mengutamakan mareka-mereka yang mau ke SD, karena memang bayaran SPP bulanannya lebih besar dari yang kami bayar, jadi hampir setiap hari aku terlambat masuk sekolah dan bersedia diberi hukuman.
Keluargaku bukan tergolong keluarga yang kaya. Walaupun aku dan keluragaku cuma hidup berempat, tapi kami merasa kekurangan dan juga tak harmonis sama sekali. Memang ayahku sering membelikan barang yang aku inginkan, tapi itu tidak cukup bagiku. Aku hanya inginkan hanyalah kenyamanan. Aku inginkan pengertian dari mereka semua. Ayah kalau berbicara keras sekali dengan nada tinggi seperti ingin marah, itu dikarenakan masa kecilnya yang keras, dia sudah sering sekali ditinggal pergi sendiri oleh kakak-kakaknya dulu. Pada wakti itu belum ada listrik sama sekali, jadi ketakutan mengancamnya setiap hari, faktor-faktor itu yang mempengaruhinya tiap hari, terbawalah hingga sekarang.
Karena itu yang menyebabkan ayah dan ibuku suka ribut. Ayah yang tidak setuju jika keluarga ibu berkunjung ke rumah atau sekedar menelepon ke rumah. Ayah merasa risih dengan semua hal itu, aku juga tidak tahu apakah sebabnya. Tiap menjelang puasa, ayah dan ibu pasti ribut dahulu. Ibuku ingin pergi pulang kampung selama 3 hari, sebenarnya waktu yang sangat singkat, tapi sayang ayah tak mengizinkannya. Ayah orangnnya tidak pengertian sekali, dia tidak peduli bagaimana perasaan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Aku tak berani mengajak siapapun ke dalam rumah, takutnya ayahku tidak setuju, apalagi sampai aku mengajak sepupuku ke rumah, wah bisa marah besar dia. Apalagi ibu, dia tidak mau mengajak siapapun ke rumah, kecuali memang ada tamu yang secara kebetulan datang ke rumah. Bukan hanya takut dengan ayahku, ibu juga malu dengan keadaan rumah kami yang sempit dan kelihatnnya pengap sekali. Berkali-kali kata cerai dilontarkan oleh ibu ke ayah, tapi mengapa ayah selalu mengelak dan membahas tentang utang-utang yang katanya belu lunas dibayar oleh ibu. Ayah memaksa ibu untuk melunasi utang-utang tersebut. Aku merasa sangat sedih melihat mereka begitu, hampir setiap malam terjadi. Aku tidak tahu tetangga di sebelahku mendengarnya atau tidak. Aku juga tidak tahu mungkinkah kami menjadi gosip yang terhangat di komplek.
Kehidupan keluaragaku sangat sulit untuk dimengerti, mereka selau menganggapku anak kecil, mereka juga tidak pernah memperhatikan pendapat yang aku berikan, seperti deskriminasilah. Aku juga selalu dibanding-bandingkan dengan kakakku. Kakakku memang lebih segalanya dibandingkan aku yang tidak apa-apanya begini. Dia lebih pintar, dan juga labih menurut apa kata ayah dan ibu. Aku selalu disalahkan oleh ibu, jika aku bertengkar dengan kakakku itu. Ibu selalu mengeluarkan kata-kata yang tidak sedap terhadapku, dan tanpa pikir lagi badanku inilah yang jadi korban. Dia tidak segan-segannya memukul aku, dengan sapu atau tangannya sendiri, aku sakit sekali!!, ……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar